Yuliandre Darwis

Pengibaran Bendera One Piece: Komunikasi Simbolik Bahasa Ketidakpuasan?

Beberapa waktu terakhir, di sejumlah wilayah Indonesia, terlihat pemandangan yang tidak biasa: bendera Jolly Roger dari serial One Piece berkibar di rumah-rumah, warung kopi, hingga konvoi kendaraan. Awalnya, publik menganggap ini sekadar ekspresi fandom. Namun jika ditelusuri lebih dalam, sebagian pengibar bendera ini ternyata memiliki maksud yang lebih serius: menyampaikan protes terhadap pemerintah.

Dari perspektif komunikasi, fenomena ini adalah contoh nyata komunikasi simbolik. Dalam teori interaksionisme simbolik Herbert Blumer, makna sebuah simbol lahir dari kesepakatan sosial. Bagi penggemar One Piece, bendera bajak laut Topi Jerami mewakili kebebasan, keberanian, persahabatan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Nilai-nilai ini, yang kuat di dalam cerita, kini direkontekstualisasi menjadi pesan sosial-politik di dunia nyata.

Dalam narasi One Piece, bajak laut bukan sekadar penjarah laut. Mereka sering digambarkan sebagai pihak yang menentang otoritas korup, memperjuangkan kebebasan, dan melindungi yang lemah. Maka, saat bendera ini dikibarkan oleh masyarakat yang resah dengan kebijakan atau kondisi negara, ia menjadi kode visual perlawanan, aman secara hukum, namun jelas secara makna bagi mereka yang mengerti.

Fenomena ini bisa dibaca melalui konsep hidden transcript James C. Scott, yang menjelaskan bahwa kelompok yang tidak berkuasa kerap menggunakan simbol atau bahasa terselubung untuk mengkritik pihak berkuasa. Mengibarkan bendera One Piece adalah cara menyampaikan “kami tidak puas” tanpa menuliskannya secara gamblang. Di era di mana protes langsung berpotensi menuai risiko sosial dan hukum, simbol fiksi menjadi pelindung yang efektif.

Namun, kekuatan komunikasi simbolik ini juga membawa risiko. Simbol bersifat polisemik, satu gambar dapat memiliki banyak makna bagi audiens berbeda. Ada yang melihatnya sebagai ekspresi hobi, ada yang menganggapnya bentuk pemberontakan, dan ada pula yang merasa ini merendahkan nilai simbol resmi negara jika dikibarkan bersebelahan. Dalam konteks komunikasi publik, perbedaan interpretasi ini bisa memicu gesekan dan debat.

Dari sisi psikologis, pilihan menggunakan simbol pop culture untuk protes menunjukkan dua hal. Pertama, masyarakat mencari bahasa yang aman dan bisa diterima secara sosial untuk mengungkapkan kekecewaan. Kedua, ada kebutuhan emosional untuk terhubung dengan narasi yang memberi harapan. Dalam hal ini, kisah kelompok kecil yang melawan kekuatan besar demi keadilan. One Piece menyediakan narasi itu dalam bentuk yang memikat, emosional, dan mudah dikenali lintas generasi.

Bagi seorang yang terjun dalam bidang komunikasi, ini adalah momen penting untuk membaca denyut aspirasi rakyat. Jika bendera fiksi bisa menjadi kanal aspirasi, itu berarti saluran komunikasi formal mungkin tidak lagi dianggap efektif atau aman. Pemerintah dan pembuat kebijakan perlu menyadari bahwa setiap simbol yang viral punya akar pada perasaan kolektif yang nyata, entah itu kegembiraan, kebanggaan, atau kekecewaan.

Bendera One Piece yang berkibar mungkin terlihat seperti sekadar kain dengan tengkorak tersenyum. Tapi bagi sebagian orang, itu adalah pengingat: ada yang sedang menuntut kebebasan, ada yang ingin melawan ketidakadilan, dan ada yang berharap suatu hari dunia nyata bisa semurni solidaritas kru Topi Jerami.

Di era komunikasi visual yang serba cepat, protes tidak selalu datang lewat spanduk dan orasi. Kadang, ia berlayar di bawah bendera bajak laut fiksi, diam-diam, tapi penuh makna.