Yuliandre Darwis

Krisis Integritas dalam Dunia Akademik

Kecerdasan buatan (AI) telah menjelma menjadi asisten pribadi mahasiswa. Karakteristiknya yang cepat, efisien, dan tak pernah lelah membuat mahasiswa menjadikannya sebagai tumpuan dalam pembuatan tugas, bahkan ujian. Namun, di balik kemudahan itu, mengintip persoalan serius: integritas akademik yang mulai luntur. Pada Desember 2024 lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Republik Indonesia, Meutya Hafid, mengungkapkan bahwa saat ini sebanyak 87 persen pelajar di Indonesia menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk mengerjakan tugas mereka.

Masalahnya bukan pada teknologinya. Masalahnya adalah ketika mahasiswa tidak lagi berpikir, melainkan hanya mengedit hasil generatif AI. Riset sejatinya adalah proses memahami, meragukan, dan menyusun pengetahuan dengan penuh kesadaran. Ketika proses ini diserahkan kepada mesin, maka dunia akademik tak ubahnya pabrik konten yang terkomputerisasi, tanpa substansi, tanpa refleksi.

Tidak hanya mahasiswa. Kerap kali di dunia profesional, seorang dewasa dengan status pekerja pun melakukan hal ini. Pekerja di berbagai sektor, mulai dari content creator, konsultan, hingga pegawai administrasi, semakin sering mengandalkan AI untuk menyusun laporan, menyusun proposal, hingga menulis email. Menurut laporan McKinsey pada tahun 2024, penggunaan AI generatif di tempat kerja meningkat 65% dalam satu tahun terakhir, dan di Asia Tenggara termasuk Indonesia, 41% pekerja profesional menggunakan AI minimal seminggu sekali.

Dalam perspektif ilmu komunikasi, ini adalah bentuk noise baru dalam proses akademik. Mahasiswa sebagai sender tidak lagi mengirimkan message yang otentik, melainkan produk generatif dari pihak ketiga yakni AI. Maka yang diterima dosen sebagai receiver adalah pesan semu, kehilangan makna sebenarnya dari proses belajar.

Lebih berbahaya lagi, AI tidak hanya menyusun kalimat, tapi juga mampu menyimulasikan argumentasi, merancang kerangka berpikir, bahkan membangun narasi ilmiah. Ini menciptakan ilusi otentisitas, yang membuat dosen kesulitan membedakan mana hasil pemikiran mahasiswa, dan mana hasil pengolahan mesin.

Solusi dari krisis ini bukan sekadar pelarangan. Dunia pendidikan perlu mengembangkan tiga hal mendasar, yakni etika dalam penggunaan AI yang diajarkan sejak awal masa kuliah. Mahasiswa harus tahu kapan dan bagaimana AI boleh digunakan, serta bagaimana mencantumkan kontribusi AI seperti mencantumkan referensi.

Pembelajaran kedua yang harus ditekankan kepada mahasiswa adalah masalah literasi komunikasi digital, yaitu kemampuan untuk membaca, menilai, dan mengkritisi informasi dari AI dengan nalar ilmiah. Dan yang terakhir adalah reformulasi evaluasi akademik misalnya dengan memberikan lebih banyak ujian lisan, presentasi, dan penilaian berbasis proses yang sulit dipalsukan AI.

Sebab jika tidak, kita akan segera menghadapi generasi akademik yang pintar mengedit AI, namun miskin daya kritis. Kita mencetak lulusan yang mahir membuat laporan, tapi gagap saat diminta menjelaskannya. Tidak ada daya nalar yang bergerak dan perasaan yang muncul di dalamnya.

AI pada dasarnya, bukan musuh. Ia adalah alat. Namun, seperti semua alat, dampaknya ditentukan oleh siapa yang menggunakannya dan untuk apa ia digunakan. Maka pertanyaannya adalah: apakah mahasiswa masih ingin belajar, atau hanya ingin lulus? Mari kita jaga integritas riset, karena di sanalah masa depan ilmu pengetahuan bertumpu.