Yuliandre Darwis

“Jumbo” dan Lompatan Besar Komunikasi Budaya Populer

Kesuksesan film Jumbo menembus 10 juta penonton bukan hanya catatan angka. Ia adalah sinyal kuat tentang arah baru komunikasi budaya populer di Indonesia. sebuah keberhasilan narasi yang mampu menyentuh spektrum luas masyarakat, dari kelas urban hingga penonton akar rumput. Dalam dunia media yang kian jenuh dengan konten instan dan algoritma viral, capaian Jumbo menjadi studi kasus penting tentang bagaimana sebuah cerita bisa menjelma jadi gerakan budaya.

Dari perspektif komunikasi, Jumbo berhasil meraih konsensus emosional lintas kelas. Cerita yang sederhana namun dekat dengan realitas rakyat, dikemas dengan bahasa visual dan dialog yang cair, menjadikan film ini mudah diakses secara kultural. Inilah kekuatan komunikasi naratif yang jarang ditemukan dalam film lokal dengan orientasi pasar besar.

Lebih dari itu, Jumbo membuktikan bahwa industri film nasional sedang belajar menggabungkan kedekatan konteks dengan ketepatan strategi komunikasi. Promosi film ini tak hanya mengandalkan media konvensional, tetapi juga menggandeng komunitas, memanfaatkan media sosial secara organik, dan memicu percakapan publik melalui word of mouth yang massif. Ini adalah contoh keberhasilan ekosistem komunikasi budaya, bukan semata promosi film.

Keberhasilan Jumbo juga memicu pertanyaan penting: apakah ini sekadar tren sesaat, atau justru titik balik untuk perfilman nasional yang lebih percaya diri menampilkan cerita sendiri, logat sendiri, dan realitas sosial sendiri? Sebagai orang yang selalu berhubungan dengan ilmu komunikasi, saya melihat Jumbo bukan sebagai anomali, melainkan sebagai bukti bahwa penonton Indonesia rindu akan representasi yang jujur dan menyentuh, jauh dari glorifikasi berlebihan maupun eksploitasi penderitaan.

Tentu, tidak semua film harus mengejar 10 juta penonton. Tapi Jumbo memberi pelajaran penting: ketika sebuah film bicara jujur dan menyentuh “bahasa rakyat”, maka distribusi emosionalnya melampaui batasan demografis. Dan dalam era komunikasi yang semakin cair ini, emosi kolektif adalah mata uang terkuat dalam membangun koneksi publik.

Film ini menegaskan satu hal: cerita lokal yang dikemas dengan cerdas akan selalu menemukan jalannya ke hati masyarakat. Kita tidak butuh menjadi Hollywood untuk bisa berpengaruh. Kita hanya butuh menjadi Indonesia, secara utuh, cerdas, dan percaya diri.

 

Sumber gambar: suaramerdeka.com