Yuliandre Darwis

Film Sore: Ketika Pesan Cinta Tak Sampai

Film Sore menjadi salah satu karya yang memancing diskusi publik karena menyajikan konflik rumah tangga yang sarat emosi, tetapi berujung pada pertanyaan besar: mengapa pesan cinta dan harapan yang disampaikan sang istri tidak mampu meyakinkan dan mengubah sikap suaminya?

Dari sisi komunikasi, saya melihat inti persoalan dalam Sore bukan semata-mata pada karakter suami yang keras kepala atau egois, tetapi pada gagalnya komunikasi persuasif dalam relasi pasangan tersebut. Persuasi, menurut teori komunikasi, bukan hanya tentang kata-kata yang diucapkan, melainkan mencakup etika pesan (ethos), daya tarik emosional (pathos), dan logika argumen (logos). Tanpa keseimbangan ketiganya, pesan yang disampaikan cenderung kehilangan kekuatan memengaruhi.

Dalam film ini, sang istri kerap berupaya mengubah perilaku suaminya, baik terkait sikap dingin maupun kebiasaan buruknya. Namun, pesan yang dikirimkannya lebih bersifat pleading (memohon) daripada convincing (meyakinkan). Ia mengandalkan emosi tanpa didukung argumen yang jelas dan tanpa membangun kredibilitas posisinya sebagai pasangan yang setara dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, komunikasi yang terjadi lebih mirip luapan perasaan sesaat dibanding proses persuasif yang strategis.

Selain itu, hambatan psikologis (psychological noise) dalam hubungan mereka terlihat dominan. Suami digambarkan memiliki resistensi terhadap kritik dan menutup diri dari dialog yang sehat. Dalam komunikasi persuasif, keberhasilan tidak hanya bergantung pada kualitas pesan, tetapi juga kesiapan audiens menerima pesan tersebut. Film ini menampilkan bagaimana setiap upaya istri untuk menyentuh hati suami berakhir ditolak karena sang suami merasa pesan tersebut mengancam egonya, bukan menawarkan solusi bersama.

Film Sore sebenarnya memiliki peluang untuk menampilkan strategi persuasi yang lebih kuat, misalnya dengan membangun shared meaning (pemahaman bersama) antara keduanya, penggunaan narasi yang menyentuh nilai dan keyakinan suami, atau dialog yang berbasis empati dua arah. Sayangnya, yang terlihat adalah pola komunikasi linear: istri berbicara, suami menolak, konflik berulang. Pesan moral yang ingin disampaikan film ini—tentang perjuangan cinta dan kesetiaan—jadi kurang menyentuh karena jalur komunikasi yang digunakan karakternya tidak membangun proses perubahan sikap yang meyakinkan.

Sebagai karya drama, Sore menyentuh sisi emosional penonton. Namun, jika dilihat dari kacamata komunikasi, film ini mengingatkan kita bahwa pesan cinta tidak otomatis mengubah sikap seseorang. Komunikasi persuasif membutuhkan strategi, pemahaman audiens, dan hubungan yang memungkinkan pesan didengar, bukan sekadar diucapkan. Film ini bisa menjadi refleksi tentang pentingnya keterampilan komunikasi interpersonal yang sehat dan persuasif dalam menjaga hubungan, bukan hanya mengandalkan cinta sebagai satu-satunya “senjata” dalam konflik rumah tangga.