TikTok kembali melahirkan fenomena viral yang memancing perdebatan: aura farming. Istilah ini merujuk pada praktik menampilkan diri dengan cara yang dirancang sedemikian rupa agar tampak memancarkan aura positif, baik dari segi penampilan, ekspresi, gaya berpakaian, hingga gesture tubuh. Sasarannya? Mendapatkan validasi, perhatian, bahkan kekaguman dari penonton di dunia maya.
Secara permukaan, aura farming tampak tidak berbahaya. Ia seperti versi baru dari “glow up” atau “self-improvement”. Namun dari kacamata ilmu komunikasi, fenomena ini lebih kompleks. Ini bukan sekadar konten hiburan, tapi juga bentuk komunikasi visual yang menciptakan narasi performatif tentang diri, di mana keaslian tak lagi jadi nilai utama, melainkan persepsi.
Dalam teori dramaturgi dari Erving Goffman, setiap individu dalam interaksi sosial berperan layaknya aktor di atas panggung. Mereka memilih “kostum”, “naskah”, dan “panggung” untuk menyampaikan citra tertentu. TikTok, dengan algoritma yang mendewakan impresi dan engagement, telah menjadi panggung utama generasi muda. Dalam konteks aura farming, pengguna tidak hanya menunjukkan siapa diri mereka, tetapi siapa yang ingin mereka tampilkan kepada dunia.
Fenomena ini juga erat kaitannya dengan impression management, strategi mengontrol bagaimana orang lain melihat kita. Di TikTok, bahkan sekadar berjalan di mal atau ngopi sendirian bisa dikemas menjadi konten estetik dengan caption seperti “soft girl aura” atau “divine feminine energy”. Kamera depan menjadi cermin sosial, bukan untuk refleksi, tetapi untuk kurasi diri.
Masalah muncul ketika batas antara yang asli dan yang dipoles menjadi kabur. Banyak pengguna muda mulai merasa tertekan karena merasa “auranya tidak cukup kuat” atau tidak se-ethereal influencer yang mereka tonton. Ketimpangan antara citra digital dan kenyataan ini memunculkan fenomena identity dissonance, di mana seseorang merasa tidak puas dengan dirinya karena terlalu sering membandingkan diri dengan versi ideal di media sosial.
Dari sisi komunikasi massa, aura farming juga memperkuat budaya visual yang menilai seseorang dari tampilannya, bukan isi pikirannya. Nilai-nilai seperti refleksi diri, empati, dan kecerdasan menjadi kurang menonjol dalam ekosistem konten yang sangat visual dan cepat. Wajah yang “kinclong” atau pose yang “calm but confident” bisa mendapat pujian lebih tinggi dibanding opini kritis yang butuh waktu dipahami.
Namun, bukan berarti fenomena ini harus ditekan atau dilarang. Dari sisi komunikasi, perlu pendekatan literasi digital yang lebih humanis. Anak muda perlu diajak memahami bahwa aura sejati tidak dibentuk dari filter, melainkan dari konsistensi karakter, empati, dan kualitas berpikir. Media sosial bisa tetap jadi ruang ekspresi diri, asalkan tidak mengorbankan kejujuran dan kesehatan mental.
Di tengah dunia digital yang serba estetis dan kuratif, aura farming adalah cermin: apakah kita sedang menampilkan diri, atau meninggalkan diri?