Pernyataan Presiden yang menyebut bahwa sebagian NGO didanai pihak asing untuk mengadu domba masyarakat Indonesia mengundang respons keras dari berbagai kalangan. Namun dari kacamata media dan komunikasi, ini bukan sekadar kontroversi politis. Ini adalah bagian dari perang narasi yang semakin kompleks antara negara, korporasi, publik, dan aktor transnasional, terutama di sektor strategis seperti pertambangan nikel.
Kita harus jujur bahwa komunikasi isu pertambangan di Indonesia memang sangat bising dan tidak seimbang. Di satu sisi, negara sedang menggenjot hilirisasi nikel sebagai tulang punggung transisi energi dan kemandirian ekonomi. Di sisi lain, publik terus dibanjiri oleh laporan-laporan negatif dari NGO, mulai dari isu lingkungan, pelanggaran HAM, sampai tuduhan perampasan tanah adat.
Apakah semua itu salah? Tidak selalu. Tapi saya melihat ada pola komunikasi yang tidak netral yakni narasi tentang industri nikel kerap dibingkai secara bias, tidak menyeluruh, dan mengabaikan konteks geopolitik serta pembangunan jangka panjang. Dalam banyak kasus, laporan-laporan tersebut diangkat oleh NGO yang memiliki afiliasi atau pendanaan dari lembaga luar negeri dengan agenda tertentu. Di sinilah muncul dugaan bahwa sebagian informasi yang beredar di ruang publik bukan hanya bentuk advokasi, tetapi juga bagian dari disinformasi strategis yang terstruktur dan repetitif.
Kita tidak boleh anti-kritik, tapi kita juga tidak boleh buta terhadap operasi komunikasi yang bertujuan melemahkan legitimasi kebijakan nasional. Ketika NGO lebih aktif membentuk opini publik dibandingkan menjembatani dialog dengan warga lokal secara konstruktif, maka komunikasi yang terjadi adalah komunikasi destruktif, bukan solutif. Celakanya, media arus utama maupun media sosial seringkali menjadi perpanjangan dari narasi-narasi ini tanpa verifikasi mendalam.
Maka, yang perlu dibangun hari ini bukan hanya industri nikel yang berkelanjutan, tapi juga ekosistem komunikasi strategis yang adil dan transparan. Pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil harus duduk bersama dalam membangun trusted communication channels, ruang-ruang dialog yang terbuka tapi tidak bisa dimanipulasi oleh agenda luar. Indonesia membutuhkan NGO yang independen dan berpihak pada rakyat, bukan NGO yang hanya menjadi corong bagi kepentingan asing yang terselubung.
Akhirnya, publik perlu diajak melek literasi media. Jangan mudah percaya pada narasi tunggal. Hal ini untuk semua, baik dari negara, korporasi, maupun LSM. Kita butuh kritik, tapi kita juga butuh kejujuran tentang siapa yang bicara, mewakili siapa, dan untuk tujuan apa. Karena dalam dunia yang penuh perang informasi ini, siapa yang menguasai narasi, dialah yang menguasai persepsi.